WHN Mengutuk Keras Tindakan Oknum Mahasiswa PPDS Anastesi yang Melakukan Pelecehan di RSHS Bandung

Nature



WHN Mengutuk Keras Tindakan Oknum Mahasiswa PPDS Anastesi yang Melakukan Pelecehan di RSHS Bandung

Jumat, 11 April 2025, April 11, 2025
Fajtaliputan-Jakarta
11 April 2025

*Artikel*
Ketika Jas Putih Menjadi Tameng: Menggugat Sistem Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia
Fitri Sepviyanti Sumardi
Universitas Pembangunan Nasional ’Veteran’ Jawa Timur
 
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh pemberitaan tentang dugaan kasus kekerasan seksual yang melibatkan seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di salah satu rumah sakit pendidikan ternama di Indonesia. Terlepas dari proses hukum yang masih berjalan dan asas praduga tak bersalah yang harus dijunjung, kasus ini menyentuh titik yang lebih dalam dari sekadar hubungan antara pelaku dan korban. Hal ini juga menyibak lapisan-lapisan gelap dalam sistem pendidikan kedokteran spesialis kita yang selama ini dibiarkan berjalan dengan hierarki kaku, minim pengawasan, dan rapuh dalam perlindungan hukum.
Setiap masyarakat mendambakan dokter spesialis yang unggul: cerdas, sigap, penuh empati. Namun, sedikit yang tahu bahwa proses untuk mencetak dokter seperti itu kini sedang diliputi krisis yang mengkhawatirkan.
Sebuah survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada Maret 2024 menunjukkan bahwa 22,4% peserta PPDS mengalami gejala depresi. Bahkan, 3,3% mengaku memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup. Hal ini bukan sekadar angka, melainkan sinyal bahaya serius terhadap masa depan layanan kesehatan di negeri ini.
 
Residen: Bukan Mahasiswa, Bukan Pekerja, Tapi Bekerja Seperti Pekerja
PPDS atau residen, dalam praktiknya, berada dalam status hukum yang tidak jelas. Mereka belajar, tetapi sekaligus bekerja. Mereka bukan mahasiswa dalam pengertian konvensional, sebab mereka tidak hanya duduk di ruang kuliah atau laboratorium. Namun mereka juga bukan tenaga medis yang diakui secara struktural dalam sistem kepegawaian rumah sakit.
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, dijelaskan bahwa pendidikan profesi dan spesialis adalah bagian dari pendidikan akademik yang bertujuan membentuk kompetensi dokter. Tapi celah besar muncul: meski disebut sebagai “pendidikan”, praktik di lapangan membuat residen menjalani tugas-tugas klinis yang sering kali berat dan esensial bagi operasional rumah sakit, namun tanpa perlindungan hukum selayaknya tenaga kerja atau jaminan sosial.
 
Etika Kedokteran: Antara Buku dan Praktik
Di bangku kuliah, mahasiswa kedokteran diajarkan tentang kode etik profesi. Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), tertulis jelas bahwa seorang dokter wajib menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, menghormati hak pasien dan sejawat, serta bertindak berdasarkan integritas moral.
Dalam realitas sistem PPDS, prinsip-prinsip tersebut kerap dibenturkan dengan “kultur” yang sudah lama mengakar: seniorisme, tekanan akademik yang berlebihan, serta pembiaran terhadap kekerasan simbolik maupun fisik atas nama pendidikan. Etika profesi seolah berhenti menjadi teks, bukan praktik yang dijalani.
Padahal, menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, setiap tenaga medis, termasuk dokter yang sedang menempuh Pendidikan, harus tetap tunduk pada prinsip etik dan bertanggung jawab atas tindakannya. Kekerasan, apalagi kekerasan seksual, tidak bisa ditoleransi dalam bentuk dan alasan apa pun, terlebih jika terjadi dalam institusi pendidikan kedokteran.
 
Relasi Kuasa, Kesehatan Mental, dan Kekosongan Pengawasan
Hal yang paling mengkhawatirkan dalam sistem ini adalah adanya relasi kuasa yang timpang antara residen dan pembimbing, atau antara residen senior dan junior. Dalam kondisi seperti ini, pengawasan menjadi sangat lemah. Banyak institusi kedokteran tidak memiliki mekanisme pelaporan kekerasan atau pelecehan yang aman dan berpihak pada korban.
Tak kalah penting, adalah persoalan kesehatan mental. Tekanan akademik, beban kerja klinis, dan isolasi sosial yang dialami peserta PPDS bisa menjadi pemicu stres kronis, kecemasan, hingga gangguan perilaku. Sayangnya, sistem kita belum menjadikan asesmen kesehatan mental sebagai standar wajib dalam seleksi maupun evaluasi berkala residen.
Padahal, alat seperti Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) yang sudah lama digunakan secara luas dalam dunia psikologi klinis dan seleksi pekerjaan berisiko tinggi, dapat membantu mengidentifikasi potensi masalah psikologis, gangguan kepribadian, atau kecenderungan agresif yang tersembunyi. Bila diterapkan secara bijak, tes ini bisa menjadi pagar awal untuk mencegah orang-orang dengan risiko tinggi masuk ke dalam sistem pendidikan yang menuntut stabilitas emosi dan kemampuan relasi interpersonal yang baik.
 
 
Solusi dan Saran untuk Masa Depan dan Saatnya Negara Hadir
​Reformasi sistem PPDS adalah keharusan, bukan opsi. Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, harus melakukan langkah konkret.
Agar kasus serupa tidak terus berulang dan sistem ini benar-benar berpihak pada keselamatan dan pertumbuhan peserta didik, sejumlah langkah konkret perlu diterapkan:
1. Penegasan Status Hukum PPDS
Pemerintah harus menetapkan status hukum PPDS secara jelas, bukan lagi dibiarkan "mengambang" antara mahasiswa dan tenaga kerja. Status ini penting agar mereka mendapatkan hak, perlindungan, serta batasan kewajiban yang adil secara hukum.
2. Mekanisme Pelaporan yang Aman dan Independen
Setiap rumah sakit pendidikan dan institusi kedokteran wajib memiliki unit pengaduan independen, yang berpihak pada korban dan memiliki kekuatan mengintervensi. Anonimitas, keamanan pelapor, dan tindakan responsif harus jadi standar.
3. Tes Kejiwaan & Konseling Psikologis Berkala
Asesmen psikologis seperti MMPI seharusnya menjadi syarat wajib dalam proses seleksi calon residen. Tapi tak cukup sampai di situ, pendampingan psikologis berkala selama masa pendidikan harus diinstitusikan, bukan dianggap sebagai beban.
Tujuannya bukan untuk mencari-cari kelemahan mental, tetapi untuk membantu para peserta didik memahami batas stresnya, mengenali emosi, dan memproses tekanan secara sehat. Konseling bukan tanda lemah, tetapi bagian dari pelatihan menjadi dokter yang utuh. Hal ini disebabkan karena bagaimana mungkin seseorang merawat orang lain kalau ia sendiri tidak dirawat?
 
Menanamkan Etika Tanpa Hierarki yang Toksik
Salah satu akar masalah terbesar dalam sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia adalah budaya senioritas berlebihan yang tidak jarang berubah menjadi kekuasaan. Padahal, etika tidak tumbuh dari rasa takut, melainkan dari peneladanan dan dialog yang sehat.
Kita perlu membangun model relasi yang bukan berdasarkan hierarki, tetapi pada tiga prinsip dasar:
1. Respect, Bukan Takut
Yang lebih muda menghormati yang lebih tua bukan karena takut dibentak atau diintimidasi, tetapi karena menghargai ilmu, pengalaman, dan dedikasi mereka. Sebaliknya, yang lebih tua (baik pembimbing maupun kaka kelas) harus sadar bahwa rasa hormat tidak bisa dipaksa, melainkan ditumbuhkan melalui keteladanan, kebaikan, dan keadilan.
2. Sistem Mentoring Formal
Senioritas bisa digantikan oleh mentoring. Artinya, peserta didik yang lebih dulu menjalani pendidikan diarahkan menjadi mentor, bukan penguasa informal. Mereka dibekali pelatihan komunikasi, etika, dan tanggung jawab sebagai pembina karakter, bukan sebagai "penjaga tradisi keras."
3. Evaluasi Etika dan Budaya Setiap Semester
Sama seperti ujian akademik, evaluasi terhadap iklim etik dan psikososial di lingkungan pendidikan spesialis harus dilakukan secara berkala. Apakah peserta merasa aman? Apakah nilai saling menghargai dijalankan? Survei ini bisa dijadikan dasar reformasi internal yang berkelanjutan.
 
Penutup: Mendidik dengan Nilai, Bukan Hanya Ilmu
Pendidikan kedokteran seharusnya bukan hanya tentang mencetak dokter dengan keterampilan klinis mumpuni. Tapi juga membentuk pribadi yang mampu mendengar, memahami, dan merawat manusia lain dengan empati.
Kita bisa punya rumah sakit dengan alat tercanggih, atau lulusan dengan nilai akademik terbaik, tetapi jika sistemnya membiarkan kekerasan, membungkam korban dan memproduksi dokter-dokter yang dingin secara moral, maka kita gagal sebagai bangsa.
Saatnya mengganti kultur kekerasan dengan kultur kepedulian. Hal tersebut diterapkan tanpa harus menghapus nilai-nilai luhur seperti rasa hormat, disiplin, dan pengabdian. Kita bisa, dan harus, menata ulang sistem ini agar dokter masa depan bukan hanya profesional, tapi juga manusia seutuhnya.
Jika kita ingin sistem kesehatan Indonesia menjadi lebih kuat, maka investasinya harus dimulai dari mereka yang sedang kita didik hari ini.
Sudah saatnya kita berhenti menutup mata. Karena di balik setiap jas putih, ada jiwa yang juga perlu diselamatkan.

Penulis: dr. Fitri Sepviyanti Sumardi, SPAnTI.,M.Kes (Staffsus Bidang Kedokteran WHN).

Faktaliputan Jakarta
Redaksi

TerPopuler