Rakyat Butuh Dokter Gigi, Bukan Tukang Gigi Didikan Instan: “Tukang Gigi, Solusi atau Tambal Sulam?

Nature



Rakyat Butuh Dokter Gigi, Bukan Tukang Gigi Didikan Instan: “Tukang Gigi, Solusi atau Tambal Sulam?

Senin, 21 April 2025, April 21, 2025

Faktaliputan-Jakarta 
21 April 2026

drg. E. Susanty Tahir, M.H.
Staffsus Bidang Kedokteran
Wawasan Hukum Nusantara.

*Artikel*
Jagat maya berdengung kembali ketika seorang menteri tergelincir dalam pernyataannya di ranah publik dan menuai kontroversial terkait tukang gigi. Sekejab itu pula di semua grup tenaga medis para dokter gigi sejagat raya negeri ini membahas tentang pernyataan sang menteri tersebut. Publik disuguhi pernyataan mengejutkan: tukang gigi akan "dididik" untuk membantu mengatasi masalah gigi berlubang di Indonesia . Wait, what a stu*** statement, Sir?

Dalam siaran pers di layar kaca dan media eletronik beliau mengusulkan pelatihan untuk tukang gigi sebagai solusi mengatasi tingginya angka penyakit gigi berlubang di Indonesia. Sebuah wacana yang sekilas terkesan praktis namun justru menjentik logika dan hati nurani kita sebagai bangsa yang katanya sedang menuju transformasi kesehatan. Rasanya baru kemarin kita tepuk tangan karena ada niat serius memperbaiki sistem kesehatan gigi nasional. Apa lacur kalimat telah terucap—yang kemudian dikoreksi dengan counter attack oleh kementerian bahwa sang menteri salah mengucapkan istilah, tukang gigi yang dimaksud adalah terapis gigi dan mulut. Apa pun substansi konter tersebut—apakah ini benar-benar adalah solusi? Atau hanya tambal darurat di atas lubang yang semakin menganga dalam sistem kesehatan kita?
Problem utama masyarakat adalah minimnya akses terhadap dokter gigi profesional , terutama di daerah pelosok. Namun alih-alih memperkuat pendidikan kedokteran gigi, menambah jatah, memperbaiki penyaluran, dan memberi insentif tenaga medis, mengapa malah melirik jalur pintas yang sangat berisiko? Ini bukan hanya sekedar tentang gigi tetapi soal kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan. Ketika negara malah menganggap remeh kualitas layanan, rasanya seperti dihantam oleh kenyataan bahwa masyarakat belum dipandang cukup penting untuk mendapatkan yang terbaik.

Bukankah setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan bermutu? Atau privilese hanya untuk mereka yang tinggal di kota?  Apakah anak-anak di wilayah pelosok harus puas dengan layanan 'asal bisa tambal'? Atau apakah ibu-ibu harus rela menahan sakit gigi kemudian yang datang bukan dokter, tetapi 'yang penting ada orang yang praktik'? Mungkin tujuannya baik. Namun solusi yang baik tidak cukup dengan niat tetapi juga harus cerdas, tepat sasaran, dan berpihak pada keselamatan masyarakat. Sebab gigi bukan hanya tentang estetika—ini tentang hak, kesehatan, dan masa depan masyarakat.

Pertanyaan mendasar: apakah tepat dan layak kesehatan gigi 270 juta rakyat Indonesia terutama masyarakat yang tinggal di wilayah pelosok ditangani oleh tenaga non-medis yang dididik instan?

Fakta menyajikan bahwa penyaluran dokter gigi di Indonesia sangat timpang. Sebagian besar tampak gemuk di kota besar, sedangkan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) nyaris tidak terjangkau pelayanan dokter gigi. Ini bukan tentang kesalahan tunggal tukang gigi, namun ini tentang kelalaian negara dalam mendesain sistem penyaluran tenaga medis yang adil dan merata. Jalan keluarnya bukan mendidik tukang gigi menjadi “semi medis” atau mendidik secara instan para tukang gigi. Jalan keluarnya adalah dengan menambah jumlah kuota dokter gigi, memberikan insentif yang tinggi kepada dokter gigi yang bersedia mengabdi ke daerah 3T, menyediakan fasilitas dan jaminan keamanan kerja yang layak, menyiapkan program magang atau residensi wajib di daerah 3T dan minim layanan. Mengapa jalan keluar yang telah disebutkan ini tidak dilaksanakan dengan lebih serius? Apakah karena biaya yang lebih mahal? Apakah karena butuh kerja keras dan waktu yang lama? Keselamatan dan kesehatan masyarakat negeri ini bukan proyek mercusuar. Ia adalah hak fundamental rakyat dan tidak bisa diganti dengan jalan keluar yang instan dan penuh risiko.

Keberadaan tukang gigi tidak serta merta disalahkan dalam hal ini. Mereka ada karena sistem yang gagal menjangkau semua orang. Mereka ada karena rakyat mencari pertolongan bukan karena mereka ingin menggantikan peran dokter.

Kesehatan gigi bukan ruang kompromi, negara harus tegas dan jelas dalam persoalan ini. Tidak ada negara maju yang menyerahkan kesehatan rakyatnya pada tenaga non-medis, apalagi yang tidak mempunyai dasar ilmu kedokteran gigi. Jika hal ini terus digaungkan, bisa jadi peningkatan angka malpraktik melesat dan kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan akan semakin hancur.

Kesehatan gigi bukan sekadar urusan tambal-menambal, gigi berlubang bukan hanya perkara estetika, persoalan di balik itu jauh lebih mengerikan, ia bisa memicu infeksi sistemik, penyakit jantung sampai mengganggu tumbuh kembang anak. Namun selama pemerintah menganggap hal tersebut adalah masalah sepele yang cukup ditangani oleh tukang gigi, maka sesungguhnya pemerintah sedang menutup mata atas luka menganga  dalam sistem kesehatan negeri ini. Tabik*

*drg E Susanty Tahir, MH/ Dosen di Universitas Duta Bangsa Surakarta/ Stafsus Bidang Kedokteran Wawasan Hukum Nusantara/ Mahasiswa Legium Law Master Asean University International Malaysia/ Member of Australian and New Zealand Mental Health Association.

Faktaliputan-Jakarta
Redaksi

TerPopuler