Faktaliputan-Jakarta
10 April 2025
*Artikel:*
What’s going on with you, Sir? Ini pertanyaan yang menghentak isi kepala saya ketika membaca portal media online tentang seorang guru besar di Universitas ternama di negeri ini tersangkut kasus pelecehan seksual kepada beberapa mahasiswa. Ketika seorang guru besar, simbol tertinggi di dunia akademik dan terbukti melakukan pelecehan seksual kepada sejumlah mahasiwa, bukan hanya mencederai korban secara fisik maupun mental, namun turut meruntuhkan kepercayaan publik, martabat sebuah bangsa juga dipertaruhkan.
Ini bukan hanya sekedar pelanggaran etika, ini adalah pengkhianatan. Sebuah kejahatan yang menjijikkan dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjadi panutan moral, penjaga nilai dan pelindung generasi.
Apa yang terlintas dalam benak seorang pria paruh baya berbalut jubah prestasi akademik saat menyentuh tubuh-tubuh yang seharusnya dia lindungi? Ketika sang guru besar memanfaatkan ketakutan dan kepatuhan anak didiknya untuk memuaskan nafsu bejatnya? Ini bukan tentang menjelaskan sesuatu hal yang seksi, ini adalah bentuk paling menjijikkan dari suatu relasi kekuasaan.
Tidak hanya merusak tubuh dan mental korban, menorehkan luka perih yang tak kasat mata, menyisakan trauma yang berkepanjangan namun lebih dari itu ia telah membusukkan inti dari pendidikan itu sendiri.
Pelecehan seksual dalam ruang akademik adalah bentuk kekerasan yang sangat kompleks. Relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa membuat korban berada dalam posisi yang sangat rentan. Ketakutan terhadap nilai yang buruk, ancaman tidak lulus atau stigma sosial yang mengintai sering kali membuat korban lebih memilih diam.
Mahasiswa-mahasiswa datang ke kampus dengan setumpuk harapan: ingin belajar, berkembang dan membentuk masa depan namun yang mereka temukan justru neraka dalam bentuk ruang dosen. Mereka tidak hanya dihancurkan secara psikologis namun juga dilecehkan secara sistemik oleh budaya kampus yang sering membungkam dan melindungi pelaku atas nama reputasi institusi.
Reputasi apa yang ingin dipertahankan jika predator seksual justru dilindungi? Yang lebih menyakitkan adalah ini bukan kejadian tunggal.
Ini hanya satu dari banyak kasus yang selama ini ditutupi dan dibungkam serta dibisukan oleh mekanisme kekuasaan dan birokrasi yang memanjakan pelaku. Ketika pelakunya adalah guru besar, maka ia dianggap “terlalu terhormat” untuk disentuh hukum. Inilah wajah asli dari hipokrisi akademik yang lebih sibuk menjaga nama baik lembaga daripada menyelamatkan korban yang nota bene adalah generasi penerus.
Kasus ini membuka mata dan menyentak nurani saya pribadi bahwa gelar dan jabatan bukan jaminan dalam menilai kualitas moral seseorang. Di balik toga dan gelar profesor bisa jadi hanya jubah semata dan yang tersembunyi di balik jubah itu adalah seorang predator yang dengan lihai menyalahgunakan kekuasaannya.
Dan yang lebih menyakitkan kasus seperti ini bukan yang pertama dan bisa jadi bukan yang terakhir bila tidak ada perbaikan sistemik.
Stop! Cukup sudah! Kita tidak perlu lagi memuja-muja gelar dan jabatan akademik sementara moralitasnya bangkrut ke titik nadir. Apalah arti gelar guru besar jika ia menjelma menjadi predator di belakang meja dosen? Apakah institusi akan terus menormalisasi kekerasan seksual di kampus dengan dalih bahwa hal tersebut adalah “kesalahan pribadi” dan “tidak mewakili wajah institusi? Tidak! I do not agree ! Kekerasan seksual adalah hasil dari sistem yang permisif terhadap pelaku dan ketidakpedulian kepada korban.
Mari menjadikan kampus selain tempat belajar juga sebagai ruang aman dan atmosfir yang sehat bagi mahasiswa di mana mereka dilindungi, dihargai dan dihormati keberadaannya. Kasus krisis moralitas guru besar yang viral ini seharusnya menjadi titik balik bagi semua pihak. Kasus ini seharusnya menjadi momen refleksi dan reformasi. Sebab jika guru besar pun sudah kehilangan moral, maka kepada siapa lagi mencari teladan?
Setiap institusi pendidikan di negeri ini harus menyalakan dan menghidupkan kembali unit layanan kekerasan seksual yang dilengkapi dengan SOP yang tegas dan dikelola oleh orang-orang yang profesional dan independen, berpihak kepada korban dan mempunyai keberanian untuk mengadili siapa pun, tidak peduli setinggi apa gelarnya.
Tidak ada hal yang lebih penting selain dari keselamatan dan martabat para korban.
Kepada para korban, keberanian kalian untuk speak up hari ini bukan hanya sekedar menyuarakan kebenaran namun kalian adalah pelita di tengah gelapnya dunia yang diselimuti kepalsuan. Suara kalian hari ini akan terus menggema dan semoga menjadi awal runtuhnya dinding kemunafikan yang sudah terlalu lama melingkari ruang paling gelap di dunia pendidikan negeri ini.
Ketika guru besar menjadi pelaku kekerasan, sudah saatnya khalayak bertanya: “siapa sebenarnya yang layak disebut *besar ?” Orang yang mengumpulkan gelar atau mereka yang menjaga manusia/ generasi dari kehancuran?
Penulis:
*drg Erni Susanty Tahir, MH / Dosen di Universitas Duta Bangsa Surakarta/ Stafsus Bidang Kedokteran di Wawasan Hukum Nusantara/ Mahasiswa Legium Law Master di Asean University International Malaysia.
Faktaliputan-Jakarta
Redaksi