Fakraliputan-Jakarta
15-04-2025
Wawasan Hukum Nusantara
Staffsus Bidang Kedokteran
drg. Erni Susanti Tahir, M.H.
Artikel:
Jagat raya negeri ini kembali diguncang dengan berita tragis, tidak hanya menjadi berita yang memilukan tapi sekaligus memalukan hingga negeri ini seakan kehabisan kata-kata untuk menalar, ada apa dengan sang dokter tersebut. Dunia ini memang terkadang begitu absurd, sampai pertanyaan sejenis ini, “Kok bisa sih?” Seorang dokter residen anestesi yang seharusnya menjadi sosok pelindung dan simbol kepercayaan, seseorang yang dititipkan hidup dan mati suatu keluarga, malah dilaporkan dengan dugaan memperkosa anak dari pasiennya sendiri. Seseorang yang sedang digembleng dan dilatih untuk menyelamatkan hidup orang lain, justru menjelma dan menjadi pelaku dari tindakan paling kejam dan akan menyisakan trauma yang tak berkesudahan.
Tragedi ini bukan lagi sekedar kejahatan, jauh lebih pekat dan menghantam alam pikir, hingga muncul pertanyaan yang menggema di kepala banyak orang: “Bagaimana bisa seseorang yang tampaknya begitu "berpendidikan" melakukan tindakan sekejam itu? ”Ada apa sebenarnya di dalam isi kepala dokter tersebut?” Jawabannya, bisa jadi tersembunyi di dalam kepalanya— dalam arti yang sesungguhnya.
Pelaku kejahatan ini bukan orang sembarangan. Ia memiliki pendidikan tinggi, lulus seleksi ketat untuk menjadi dokter, lalu berhasil lolos ke program spesialis. Dari kasus ini kita memahami bahwa pendidikan yang mentereng ternyata tidak cukup untuk memastikan seseorang punya empati. Dan akhirnya membuat kita harus mulai bertanya: “Kalau bukan karena bodoh, lalu kenapa ia bisa melakukan hal sekejam itu?” Masyarakat sering menganggap bahwa gelar, prestasi akademik, dan jas putih adalah jaminan moral seseorang. Namun, sejatinya yang benar-benar menentukan bukanlah hal-hal tersebut melainkan isi kepala dan hati seseorang. Dan kenyataannya, isi kepala tersebut bisa rusak bahkan dalam diam.
Dalam beberapa literatur dan dari bingkai kacamata psikologi, dikenal beberapa gangguan kepribadian yang bisa membuat seseorang kehilangan kompas moral. Salah satu yang umum diketahui adalah gangguan kepribadian narsistik—yang terkadang tidak nampak dari luar— di mana orang tersebut memiliki rasa superioritas yang tinggi, haus validasi, tapi nir empati. Bahkan yang lebih radikal adalah gangguan kepribadian anti sosial (sosiopat). Seseorang bisa tampak manis, cerdas, kompeten, namun di balik semua hal tersebut ia tidak memiliki rasa bersalah ketika menyakiti orang lain.
Pelaku mungkin sangat sadar atas tindakannya. Tapi kesadaran itu tidak selalu disertai dengan hati nurani yang sehat. Karakter- karakter ini sering mempunyai satu kesamaan: mereka tidak melihat manusia lain sebagai manusia dan orang lain hanya dijadikan objek. Apabila mereka merasa memiliki kekuasaan, mereka merasa berhak melakukan apa pun itu termasuk kejahatan.
Kejahatan tetaplah kejahatan, hal ini yang penting untuk disadari bersama. Namun bila kita belajar untuk memahami mengapa seseorang bisa melakukan suatu kejahatan, hal tersebut dapat membantu kita untuk mencegah kejahatan tersebut terulang.
Rumah sakit sebagai media dalam bekerja yang lingkungannya sangat kental dengan hirarkis, penuh tekanan, dan terkadang toksik menjadikan orang-orang seperti pelaku kekerasan seksual tersebut bisa saja bersembunyi di sisi gelap mereka di balik wajah profesional. Mereka mungkin terlihat ramah, sopan, dan sangat “berpendidikan”. Tapi semua itu hanya tameng semata. Di baliknya, ada pikiran yang rusak dan tidak pernah ada yang mampu mengintervensi.
Sistem pendidikan kedokteran kita terlalu sering hanya berfokus pada kognisi yakni nilai, indeks prestasi, keterampilan klinis tetapi mengabaikan aspek afektif dan kesehatan mental. Sehingga timbul pertanyaan selanjutnya: “Bagaimana mungkin orang seperti pelaku tersebut bisa lolos seleksi masuk dan pengawasan selama pendidikan?” Banyak masyarakat yang hidup dalam tekanan luar biasa. Tetapi sangat sedikit yang merasa aman untuk mengucap, “Aku sedang tidak baik-baik saja.” Celakanya, tidak semua institusi menyediakan ruang aman untuk berbicara tentang kesehatan mental. Akibatnya, gangguan psikologis berkembang secara diam-diam di balik etos kerja dan ambisi seseorang.
Kasus kejahatan ini harus menjadi alarm bahwa kesehatan mental tidak bisa lagi dipandang sebagai ranah pribadi tetapi juga kepentingan publik, apalagi ketika menyangkut profesi yang bergumul dengan kehidupan dan kematian manusia. Institusi membutuhkan lebih dari sekadar seleksi akademik tetapi penting untuk mengidentifikasi psikologis secara berkala. Institusi membutuhkan sistem yang berani menegur, mengintervensi, bahkan menghentikan proses pendidikan jika ditemukan tanda-tanda bahaya sebelum memakan korban berikutnya.
Kasus ini bukan sekedar skandal tetapi menjadi alarm yang menggemparkan dunia medis, pendidikan, dan masyarakat. Masyarakat tidak bisa lagi mengandalkan jas putih sebagai jaminan moral tetapi harus melihat lebih dalam, ke isi kepala dan hati mereka yang masyarakat memberi tanggung jawab besar atas kehidupannya. Sebab jika seorang dokter bisa sekejam itu maka ada sistem yang tidak berfungsi. Tabik*
*drg Erni Susanty Tahir, MH/ Dosen di Universitas Duta Bangsa Surakarta/ Stafsus Bidang Kedokteran di Wawasan Hukum Nusantara/ Mahasiswa Legium Law Master di Asean University International Malaysia/ Member of Australian & New Zealand Mental Health Association (ANZMHA)
Faktaliputan-Jakarta
Redaksi