Ketua WHN DPD Kotamobagu Menanggapi RKUHP Terbaru

Nature



Ketua WHN DPD Kotamobagu Menanggapi RKUHP Terbaru

Rabu, 05 Maret 2025, Maret 05, 2025

Faktaliputan-Jakarta
05-03-2025

Artikel:
Beberapa Catatan Tentang RKUHP
 
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa saat ini sedang dilakukan pembahasan atas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang baru, melalui inisiasi DPR-RI. Sayangnya hingga saat ini kami belum menemukan draft resmi RKUHAP tersebut.
Setidaknya terdapat duaalasan kenapa KUHAP yang ada saat ini sudah semestinya diganti, Pertama. KUHAP saat ini masih didominasi oleh crime control model yang menekankan pada efisiensi dan presumption of guilty. Kedua. untuk menegakan hukum pidana materiil (KUHP) baru yang akan berlaku di tahun 2026, melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2023.
KUHAP yang ada saat ini telah berlaku sejak tahun 1981, yang waktu itu menggantikan Herziene Indische Reglement (HIR). alasannya antara lain karena HIR menggunakan asas accusatoir yang menempatkan tersangka/terdakwa sebagai objek. Sehingga dilakukan beberapa penyesuaian yang salah satunya mengganti alat bukti pengakuan terdakwa menjadi keterangan terdakwa guna menerapkan asas inquisitoir. Sehingga tersangka/terdawa bukan lagi sebagai objek, tapi sebagai subjek dalam perkara pidana.
Namun ternyata KUHAP yang dibuat tersebut di satu sisi masih sangat didominasi oleh prinsip crime control dan di sisi lain cenderung mengabaikan prinsip due process of law, padahal keduanya harus berjalan beriringan. Hal ini karena KUHAP tidak memuat rumusan tentang konsekuensi kebatalan atas pelanggarannya, meskipun telah dicantumkan asas legalitas dalam Pasal 3 KUHAP tersebut. aturan yang tidak lengkap (lex imperfecta) tersebut mengakibatkan terjadinya penegakkan hukum yang menyimpang dari KUHAP, sebab tidak membawa konsekuensi kebatalan.
Di Belanda juga perumusannya dilakukan demikian, hanya saja yurisprudensi di sana mengenal kebatalan yang formil dan kebatalan relatif atau kebatalan yang di nisbikan. Sehingga atas setiap tindakan yang melanggar ketentuan KUHAP namun tidak secara tegas disebutkan konsekuensinya, hakim dapat menisbikan-nya dengan membatalkan tindakan tersebut. Berbeda dengan Indonesia, di mana tidak dikenal pembatalan relatif tersebut dalam yurisprudensi kita. Sehingga perumusan KUHAP kita harus dengan tegas mencantumkan konsekuensi kebatalannya.
Tujuan KUHAP selain untuk mencari kebenaran materiil dengan memberikan instrumen pada aparat penegak hukum untuk bertindak, juga untuk memberikan jaminan terhadap kemerdekaan pribadi dari setiap warga negara serta melindunginya terhadap kemungkinan perbuatan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum, sehingga salah satunya tidak boleh diabaikan.
Walaupun belum ada draft RKUHAP resmi yang disampaikan oleh DPR-RI, namun kami mendapatkan draft pada bulan Februari 2025, yang perlu kami tanggapi dengan serius agar KUHAP yang akan datang dapat lebih memberikan perlindungan kepada setiap warga negara dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum.
1. Tentang pengaturan saksi mahkota (kroongetuige) pada Pasal 69-70 RKUHAP
Dalam KUHAP saat ini, saksi mahkota tidak diatur, namun dalam praktek, saksi mahkota sering digunakan. Padahal objektivitas keterangan dari saksi mahkota sangat diragukan, sebab kesaksian tersebut bisa saja berasal dari tekanan, intimidasi, bahkan penyiksaan. Selain itu juga telah melanggar prinsip non-self incrimination yang tercantum dalam Pasal 14 Ayat (3) huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan The International Convenant On Civil Right di mana seorang tersangka atau terdakwa idak dipaksa untuk memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah. Melegitimasi saksi mahkota dalam KUHAP sama saja membuka peluang penerapan hukum yang melanggar hak asasi seseorang. Dan hal ini malah merupakan suatu kemunduran dari KUHAP yang ada saat ini.
 
2. Pengaturan tentang Praperadilan yang termuat dalam Pasal 1 angka 14 jo Pasal 149 RKUHAP
Pada dasarnya kami sepakat dengan rencana Pembuat UU untuk mempertahanan lembaga praperadilan yang diperluas kewenangannya daripada menggantinya dengan lembaga hakim komisaris. Khususnya mengenai pemeriksaan terhadap terjadinya penyiksaan atau kekerasan dalam pelaksanaan upaya paksa yang telah mengakomodir “convention against torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment”. Namun tidak cukup sampai di situ saja, sebaiknya ditambahkan juga sampai tindakan intimidasi dalam upaya paksa , sebab tidak selamanya terjadi penyiksaan  atau kekerasan, tapi justru sebagian besar terjadi praktik intimidasi antara lain dengan menakut-nakuti akan memperberat hukuman dll, selain itu harus diatur juga cara pembuktiannya khususnya tentang beban pembuktian, sebab untuk membuktikan telah terjadi penyiksaan atau kekerasan atau intimidasi sangatlah sulit, sebagian besar diakibatkan tidak adanya saksi yang melihat peristiwa tersebut. Jalan satu-satunya adalah dengan menerapkan pembuktian terbalik, di mana termohon lah yang harus membuktikan bahwa tidak terjadi tindakan penyiksaan atau kekerasan selama melaksanakan upaya paksa. Jika tidak demikian, maka pasal tersebut tidak lebih hanya sekedar pajangan saja dan berakhir seperti nasib Pasal 422 KUHP.
 
3. Tentang Praperadilan hanya boleh diajukan satu kali sebagaimana diatur dalam Pasal 151 ayat (2) RKUHAP
Pasal tersebut membatasi permohonan pemeriksaan sah atau tidaknya upaya paksa hanya satu kali saja. Artinya jika telah dimohonkan pemeriksaan upaya paksa berupa penetapan tersangka, tidak boleh lagi mengajukan permohonan atas upaya paksa lainnya seperti penahan, penggeledahan, penyitaan atau penyiksaan, sebab kesempatan hanya diberikan satu kali saja. Dengan begitu seseorang yang mendapatkan penyiksaan, kekerasan, intimidasi atau upaya paksa lainnya setelah pemeriksaan praperadilan dilakukan tidak berhak lagi untuk mendapatkan keadilan.
 
4. Tentang penolakan didampingi penasehat hukum dalma pemeriksaan yang tercantum dalam Pasal 146 ayat (4) RKUHAP
Pasal tersebut menyebutkan bahwa Tersangka atau Terdakwa dapat menolak untuk didampingi Advokat yang dibuktikan dengan berita acara. Pasal ini adalah salah satu pasal yang paling bermasalah, sebab pasal ini justru membuka peluang untuk terjadinya tindakan kekerasan atau penyiksaan atau intimidasi, agar Tersangka atau Terdakwa dipaksa untuk tidak menggunakan Advokat. tidak dapat dibayangkan ada seorang Tersangka/Terdakwa yang menolak untuk didampingi Advokat selain alasan tersebut di atas. Hal ini berbeda dengan seorang pasien yang berhak untuk tidak bersedia dirawat oleh dokter/rumah sakit, sebab kehadiran seorang Advokat dalam pemeriksaan adalah suatu keharusan agar proses pemeriksaan itu berjalan sebagaimana mestinya dan untuk memastikan hak-hak tersangka atau terdakwa tidak dilanggar, jadi kehadiran Advokat sudah pasti menguntungkan tersangka/terdakwa, tidak seperti pada tindakan medis di atas.  Hal ini juga sudah menjadi kewajiban negara untuk hadir sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Alih-alih membuat rumusan semacam ini, sebaiknya justru harus dibuat aturan bahwa tersangka/terdakwa wajib didampingi dalam setiap tingkat pemeriksaan, dan apabila ia tidak didampingi, maka BAP tersebut tidak sah ataubatal demi hukum.
 
5. Tentang hakim menunjukkan sikap yang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya Terdakwa dalam Pasal 195 RKUHAP
Pasal ini sama dengan Pasal 158 KUHAP saat ini, yang dalam praktiknya banyak hakim yang justru menunjukkan dengan terang-terangan sikapnya yang memperlihatkan keyakinan atas kesalahan Terdakwa, namun tidak membawa konsekuensi apa-apa, jadi Pasal ini jika dirumuskan ulang demikian hanya mengulang kesalahan Pembuat UU di masa lalu, sehingga perlu sekali untuk dicantumkan konsekuensi kebatalan dari putusan apabila hakim menunjukkan sikap atau pernyataan demikian, dan seharusnya juga diberikan hak pada Terdakwa atau Jaksa untuk meminta pergantian majelis.
 
6. Tentang Permintaan Pergantian Majelis dalam Pasal 256 ayat (2) RKUHAP
Mengenai hak untuk meminta pergantian Hakim ini dikenal dengan hak mungkir, yang belum ada sebelumnya dalam KUHAP, tetapi diatur dalam UU kekuasaan Kehakiman, hal ini patut diapresiasi, namun kesempatan untuk meminta penggantian hakim sebaiknya tidak dibatasi hanya pada saat sebelum pemeriksaan perkara pokok saja, karena justru sikap atau pernyataan hakim yang tidak netral itu biasanya baru nampak pada saat pemeriksaan pokok dilakukan.
 
7. Keterangan Terdakwa diluar Pengadilan dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan sebagaimana dalam Pasal 226 ayat (2) RKUHAP
Lagi-lagi pasal seperti ini akan menjadi alasan terjadinya penganiayaan, kekerasan, intimidasi pada seseorang, sebab mengakui keterangan terdakwa yang diberikan diluar persidangan sebagai alat bantu untuk menemukan bukti di sidang. Bagaimanapun juga keterangan Terdakwa yang diberikan di luar persidangan itu tidak boleh digunakan sama sekali, sebab terdapat kemungkinan keterangan tersebut diberikan dibawah penyiksaan, kekerasan atau intimidasi, yang pada intinya tersangka memberikan keterangan demikian secara tidak bebas. Dalam praktik saat ini sering Terdakwa memberikan keterangan yang bertolak belakang dengan BAP dalam tingkat penyidikan, akan tetapi, BAP hakim malah mengesampingkan keterangan Terdakwa yang diberikan dalam persidangan dan malah menggunakan BAP yang merupakan keterangan yang diberikannya di luar persidangan hanya dengan mendengarkan saksi verbalisan. Praktik ini adalah kekeliruan yang sangat fatal. Dengan demikian seharusnya pembuat UU menutup rapat-rapat celah untuk terjadinya praktik demikian, dengan menghapus pasal tersebut dan membuat aturan yang tegas bahwa keterangan terdakwa yang diberikan di luar persidangan termasuk BAP bukanlah alat bukti.
 
8. Harus terdapat pengaturan yang mewajibkan seluruh bukti yang ada peda penyidik atau penuntut umum untuk dihadirkan dalam persidangan
Pengaturan ini tidak terdapat dalam KUHAP saat maupun dalam RKUHAP, namun hal ini sebagai usulan perlu untuk dimasukkan dalam RKUHAP, sebab seringkali terdapat bukti yang menguntungkan Terdakwa namun tidak dihadirkan dalam persidangan, hal ini tentu saja merugikan Terdakwa, sebab ia telah diadili secara tidak wajar. Bahkan bisa saja ia tidak bersalah, namun hanya karena bukti yang membuktikan ketidaksalahannya tersebut tidak dihadirkan dalam persidangan sehingga ia dihukum. Dengan demikian seluruh bukti yang menguntungkan terdakwa (exculpatory evidence) yang berada ditangan penyidik atau penuntut umum, wajib dihadirkan dalam persidangan, apabila tidak dilakukan, maka konsekuensinya adalah peradilan tersebut dibatalkan. ketentuan ini mengadopsi Brady Rules dari Amerika.
 
9. Terdakwa berhak untuk tidak menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan sebagaimana diatur dalam Pasal 212 RKUHAP
Pasal ini merupakan penerapan hak untuk diam pada terdakwa, namun seringkali dalam praktik, diamnya terdakwa hampir selalu dijadikan sebagai alasan yang memberatkan hukuman olehhakim, sebab dianggap telah berbelit-belit, atau mempersulit jalannya pemeriksaan. Sehingga pasal tersebut perlu direformulasi menjadi “Terdakwa berhak untuk tidak menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya” tanpa perlu lagi menambahkan kalimat “Hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan”, dan dalam penjelasan pasal tersebut perlu ditegaskan bahwa sikap diam Terdakwa tidak dapat dijadikan sebagai alasan yang memberatkannya”
 
10. Saksi bisa merupakan orang yang tidak melihat sendiri, tidak mengalami sendiri, atau tidak mendengar sendiri peristiwa sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 39 RKUHAP
Pengaturan ini tentunya mencakup yang dinamakan dengan saksi testimonium de auditu atau hearsay evidence. Kekeliruan ini berasal dari putusan MK.No. 65
/PUU-VIII/2010 yang memperluas pengertian saksi yang diatur pada Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP termasuk juga saksi yang tidak mendengar, melihat dan mengalami sendiri peristiwa pidana. Padahal dalam pertimbangan putusan tersebut Mahkamah merujuk pada saksi yang menguntungkan bagi Tersangka/Terdakwa, seperti adanya saksi alibi yang bersifat menguntungkan terdakwa namun ia tidak melihat, mendengar,atau mengalami peristiwa pidana. Artinya perluasan makna saksi tersebut hanya terbatas pada saksi yang menguntungkan tersangka/terdakwa saja, dan tidak sebaliknya. Sebab larangan penggunaan saksi testimonium de auditu ditegaskan pada penjelasan pasal 185 ayat (1) KUHAP yang tidak menjadi objek pengujian putusan MK tersebut. Namun sayangnya dalam praktik, para hakim telah mengakui saksi testimonium berdasarkan pada putusan MK tersebut. Bagaimanapun juga penggunaan saksi testimonium sebagai saksi yang memberatkan tersangka/terdakwa tidak boleh digunakan, sehingga rumusan tersebut seharusnya dihilangkan saja atau diberikan penjelasan bahwa orang yang tidak melihat, mendengar atau mengalami langsung hanya berlaku bagi saksi yang menguntungkan terdakwa.
11. Keterangan Terdakwa Sebaiknya Dikeluarkan dari Alat Bukti
Sehubungan dengan praktik peradilan yang terjadi selama ini, di mana seringkali pengakuan tersangka/terdakwa selalu menjadi tumpuan dari aparat penegak hukum, sehingga terjadi praktik penyiksaan, kekerasan dan intimidasi kepada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, padahal belum tentu iaadalah pelakunya, intimidasi ini bahkan seringkali sampai diruang persidangan yang dilakukan oleh hakim sendiri yang memaksa terdakwa untuk membuat pengakuan. Jika demikian halnya sudah sangat patut keterangan terdakwa tidak lagi menjadi alat bukti. Sebab kita tidak boleh hanya mengadopsi begitu saja pengaturan hukum acara dari negara lain tanpa menyesuaikannya dengan kondisi faktual kita selama ini.
 
Demikian beberapa catatan kami tentang RKUHAP, semoga usulan-usulan ini dapat menjadi pertimbangan bagi para perumus RKUHAP yang sedang berlangsung saat ini. Sebab hukum acara akan mencerminkan bagaimana hukum di negara negara tersebut.
 
 
Amir Minabari, S.H.,M.H.,CCL

TerPopuler