Opini,Kemenangan kotak Kosong : Anugrah atau Musibah terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Nature



Opini,Kemenangan kotak Kosong : Anugrah atau Musibah terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Jumat, 03 Januari 2025, Januari 03, 2025
Bangka Belitung, Faktaliputan,com- 
Latar Belakang Masalah
Pemilihan Kepala Daerah yaitu sebagai sarana pelaksanaan penyerahan kedaulatan rakyat melalui proses pemilihan pemimpin pemerintahan di daerah secara demokratis. Pilkada, merupakan fenomena yang hangat dibicarakan pada saat kapanpun di lingkungan masyarakat.

Dan akan terasa lebih hangat lagi ketika didaerah tersebut menuju penyelenggaraan Pilkada bagi itu Se-level Bupati maupun Gubernur. 

Penyelenggaran Pilkada sejak Juni tahun 2005, telah diselenggarakan Pilkada secara langsung, baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Penyelenggaran diatur dalan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Dearah yang menyebutkan bahwa “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.” 

Pilkada serentak telah dilaksanakan tahap pertama pada tahun 2015 akhir, keberhasilan dan kualitas pelaksanaan pilkada ditentukan oleh persiapan tahapan pilkada serentak dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Beberapa persoalan yang menganggu dan merisaukan pelaksanaan pilkada serentak tahap pertama ialah rendahnya partisipasi publik (partisipasi pemilih).

Maka dari itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga berperan penting dalam pelaksanaan Pilkada, sepeti yang kita ketahui Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri dalam melaksanakan pemilu.

 Keberadaan KPU sebagai penyelenggara pemilu juga dituntut harus profesional, akuntabel, dan berintegritas tinggi, karena memiliki nilai strategis yang sangat penting. KPU bertugas menyiapkan instrumen hukum guna menjamin para pemilih dapat menggunakan hak pilihnya. 

Sebagaimana tertuang dalam salah satu point misi KPU yaitu: “Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pemilu demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis”. 

 Salah satu peran strategis KPU adalah meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam setiap proses pemilihan umum.

 Dengan demikian diperlukan suatu upaya sistematis bagi lembaga KPU untuk melakukan model komunikasi yang tepat kepada masyarakat dalam rangka membangun kesadaran politik masyarakat sehingga dapat menciptakan proses demokratisasi di Indonesia. 

KPU sendiri sesungguhnya merupakan jelmaan dari Lembaga Pemilihan Umum (LPU), lembaga yang bertugas menyelenggarakan pemilu pada zaman Orde Baru. Menyusul runtuhnya rezim Orde Baru, LPU yang dibentuk Presiden Soeharto pada 1970 itu kemudian direformasi menjadi KPU dengan memperkuat peran, fungsi dan struktur organisasinya menjelang pelaksanaan Pemilu 1999. Saat itu KPU diisi oleh wakil-wakil pemerintah dan wakil-wakil peserta Pemilu 1999. Namun, pasca-Pemilu 1999 KPU diformat ulang kembali guna mengikuti tuntutan publik yang mendesak agar lembaga tersebut lebih independen dan bertanggungjawab. 

Bawaslu adalah suatu badan yang mempunyai tugas dan pokok melakukan pengawasan terhadap tahapan penyelenggaraan pemilu, yang meliputi pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 

Bawaslu merupakan suatu badan yang bersifat tetap, dengan masa tugas anggotanya selama 5 (lima) tahun, dihitung sejak pengucapan sumpah/janji jabatan. Dalam pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”.

Sebagai lembaga yang perannya memiliki kewenangan basar tidak hanya sebagai pengawas namun juga sebagai eksekutor hakim pemutus perkara berdasarkan amanat dalam UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Kedepan, integritas Bawaslu akan diuji eksistensi strategisnya mengawal pemilu yang berintegritas bagi kemajuan bangsa.

2. Fenomena Paslon Tunggal
Pilkada akan dilaksanakan pada November 2024 yang dimana akan memilih pasangan calon Bupati dan Wakil bupati, Gubernur dan Wakil Gubernur. Tetapi, ada yang berbeda pada Pilkada kali ini, terdapat pasangan calon tunggal di beberapa daerah Kepulauan Bangka Belitung. Munculnya fenomena calon tunggal dalam Pilkada serentak di beberapa daerah di Indonesia bukan merupakan hal yang baru, artinya proses demokrasi politik melalui pemilihan umum dengan satu calon atau satu kandidat bukan berarti tidak mungkin untuk dilaksanakan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tersebut juga menjelaskan mengenai mekanisme calon tunggal. 

Kabupaten Bangka menjadi salah satu daerah yang terdapat pasangan calon tunggal pada Pilkada tahun 2024 yang nantinya  akan berkontestasi dengan kotak kosong. Apabila suara yang diperoleh tidak mencapai lebih dari 50%, maka pasangan calon yang kalah boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya, sedangkan dalam pasal 25 ayat 1 PKPU Nomor 13 Tahun 2018 disebutkan bahwa apabila perolehan suara pada kolom kosong lebih banyak dari perolehan suara pada kolom foto pasangan calon, KPU menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada Pilkada periode berikutnya.

 Sementara di ayat (2) disebutkan "Pemilihan serentak berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sebagaimana jadwal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." Berdasarkan pernyataan diatas akan muncul petanyaan ―Siapakah yang memimpin pemerintahan kabupaten/kota bila ternyata pemilihan umum daerah gagal memilih pemimpin baru?‖ dalam UU Pilkada disebutkan bahwa "Jika belum ada pasangan yang terpilih, maka pemerintah menugaskan pejabat untuk menjalankan pemerintahan." Artinya, Kementerian Dalam Negeri yang nantinya akan memilih walikota atau bupati yang bertugas hingga perhelatan Pilkada Serentak 2024. 

Walaupun dihadapkan dengan kotak kosong, calon tunggal tetap harus melalui semua tahapan dalam Pilkada, sehingga calon tunggal akan tetap bekerja meyakinkan pemilih bahwa dia adalah pilihan yang tepat bagi pemilih. Dengan begitu, calon tunggal akan tetap berkampanye dan menyampaikan visi misinya meskipun lawannya kotak kosong.

Meskipun melawan kotak kosong, tidak ada jaminan bahwa calon kepala daerah yang melawan kotak kosong pasti akan menang.

Salah satu pondasi dasar demokrasi adalah terbukanya kemungkinan pilihan yang beragam bagi masyarakat dalam proses pemilihan calon pemimpin. Ada tiga sebab munculnya fenomena kotak kosong. 

Pertama, sistem kaderisasi dan rekrutmen parpol belum berjalan dengan baik dan maksimal. 

Kedua, adanya ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah. Faktor ketiga, adalah syarat untuk calon perorangan yang sangat berat.

Dalam hal ini perbolehkan untuk mensosialisasikan kotak kosong. Sebab hal itu dianggap menjadi bagian dari upaya untuk menyelenggarakan pemilu yang demokratis. Dengan situasi calon tunggal, kampanye diberikan ruang bagi pasangan calon atau masyarakat yang tidak setuju dengan pasangan calon.

 Masyarakat boleh mengkampanyekan, menyampaikan atau mengimbau masyarakat untuk memilih kotak kosong. Dalam hal ini, kotak kosong juga merupakan wadah untuk menampung masyarakat pemilih yang tidak mau memilih pasangan calon yang ada.

Adanya komunitas yang mensosialisasikan kontak kosong sebenarnya memiliki fungsi seperti yang seharusnya ada jika memiliki lawan pada konstetasi pemilihan umum, yakni sebagai pengawas dan pengawal jalannya pemilu serta oposisi yang nantinya akan mengawasi kebijakan kepala daerah terpilih.

KPU tidak bisa memfasilitasi masyarakat yang akan melakukakn kampanye kotak kosong. Hal itu mengingat tidak ada regulasi yang mengatur untuk memberikan fasilitas kepada kelompok masyarakat yang ingin mewakili kotak kosong dalam berkampanye. 

3. Dampak Pertumbuhan Ekonomi
Kemenangan kotak kosong merupakan sebuah fenomena langka dalam sebuah proses demokrasi di Indonesia, tapi itulah yang terjadi. 

Berdasarkan data yang ada bahwa dari tahun ketahun fenomena ini terus meningkat, ada dua hal yang menjadi penyebabnya yaitu beberapa partai politik didaerah yang belum mampu menjalankan fungsi kaderisasi yang baik dan undang undang mengenai syarat dukungan terutama bagi calon perseorangan yang tidak mudah untuk dipenuhi. 

Faktor lain menyebabkan muncul calon tunggal adalah aturan dalam undang-undang mengenai syarat dukungan, terutama bagi calon perseorangan yang tidak mudah dipenuhi.

Pilkada dengan calon tunggal bukanlah kontestasi politik yang bagus, karena kurangnya persaingan meraih kekuasaan yang seharusnya  terjadi. Fenomena pilkada calon tunggal yang terus meningkat jumlahnya menjadi kontestasi demokrasi yang tidak ideal. 

Kemenangan kotak kosong dan pilkada ulang mencerminkan ketidakepercayaan masyarakat terhadap calon tunggal yang ada, namun solusi yang diambil, yakni pemilihan ulang, membawa konsekuensi yang lebih luas daripada yang disadari oleh sebagian besar masyarakat. 

Pilkada ulang yang diakibatkan oleh kotak kosong dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi, pelayanan publik, dan pembangunan jangka panjang di Kabupaten Bangka. 

Pilihan kotak kosong mencerminkan krisis kepercayaan terhadap calon tunggal, namun konsekuensinya bukan hanya politis, tetapi juga ekonomi dan sosial. Ketika pilkada ulang dipaksakan, beban biaya ditanggung oleh anggaran daerah, yang berasal dari APBD atau APBN.

 Ini berarti dana yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, serta program sosial, akan tersedot untuk pembiayaan ulang pemilihan.

Dampaknya bukan hanya pada tingkat fiskal, tetapi juga pada masyarakat yang pada akhirnya harus menanggung pengorbanan akibat berkurangnya layanan publik atau lambatnya pembangunan di daerah. Krisis ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara proses demokrasi dan kemampuan finansial daerah untuk menanggung biaya politik yang tidak terduga.

1. Dampak pada Stabilitas Fiskal (30%)
Pilkada ulang memerlukan anggaran besar yang bersumber dari APBN atau APBD. Pengeluaran yang tidak terduga ini sering kali mengganggu stabilitas fiskal daerah, terutama jika alokasi dana untuk pilkada ulang mengurangi anggaran untuk program pembangunan atau pelayanan publik yang esensial. 

Beberapa studi menunjukkan bahwa pembiayaan pilkada ulang di beberapa daerah dapat menyerap hingga 15-20% dari total anggaran yang awalnya dialokasikan untuk pengembangan infrastruktur dan pelayanan publik (Purnomo et al., 2021). Ini mengindikasikan bahwa pilkada ulang bisa membebani daerah yang anggarannya terbatas.
2. Dampak pada Pelayanan Publik dan Infrastruktur (25%)
Ketika dana yang seharusnya dialokasikan untuk proyek-proyek infrastruktur atau pelayanan masyarakat dialihkan ke pemilihan ulang, konsekuensinya adalah keterlambatan atau penghentian proyek-proyek vital. Di Pangkalpinang, misalnya, alokasi anggaran yang semula difokuskan untuk pengembangan infrastruktur seperti jalan, air bersih, atau fasilitas kesehatan dapat terganggu, menyebabkan keterlambatan dalam pembangunan yang berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat (Nugraha & Adi, 2022).

3. Dampak Ekonomi bagi Sektor UMKM (20%)
Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung perekonomian lokal Pangkalpinang juga terdampak oleh alokasi anggaran untuk pilkada ulang. Dengan pengurangan anggaran untuk program-program pengembangan UMKM, seperti bantuan modal dan pelatihan, daya saing sektor ini menurun. Lebih jauh, ketidakpastian politik yang dihasilkan oleh pilkada ulang juga dapat mengurangi investasi lokal dan nasional ke sektor UMKM (Putra et al., 2020).

4. Dampak pada Stabilitas Sosial dan Kepercayaan Publik (15%)
Kemenangan kotak kosong yang mengharuskan pilkada ulang dapat memicu instabilitas sosial dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. 

Ketidakpuasan publik terhadap sistem politik yang mengulang proses demokrasi, alih-alih melahirkan pemimpin baru, berisiko menimbulkan ketegangan sosial, serta protes di kalangan masyarakat. Menurut studi oleh Sutanto et al. (2022), pilkada ulang meningkatkan potensi konflik sosial, terutama di daerah yang ekonominya sudah rentan.

5. Dampak Jangka Panjang terhadap Pembangunan Daerah (10%)
Pilkada ulang memerlukan waktu, energi, dan anggaran yang besar, sehingga mengalihkan fokus pemerintah daerah dari pembangunan jangka panjang. Ketidakpastian politik yang dihasilkan juga bisa berdampak pada menurunnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah. Di Pangkalpinang, penundaan proyek infrastruktur atau program kesejahteraan masyarakat dapat menurunkan produktivitas, daya saing, serta potensi ekonomi lokal di masa depan (Rahman et al., 2021).

4. Penutup
Simpulan Problem saat ini ialah fenomena lawan kotak kosong semakin menguat, dan menjadi tanda tanya besar mengapa hal tersebut terjadi. Sebab, dalam suatu sistem demokrasi, di mana kesempatan tersebut terbuka sedemikian lebarnya tapi justru yang terjadi adalah menyusutnya calon kepala daerah. Dalam kata "demokrasi" sejatinya dibayang-bayangi oleh kata "rakyat". Kedaulatan rakyat menjadi mimpi indah bagi suatu bangsa yang baru saja transisi dari kuasa otoritarian menuju suatu tatanan yang berkeadilan. Serta, menjadi petanda pula bagi lahirnya jalan konsolidasi rezim demokratis yang salah satu petandanya ialah pemilihan umum secara langsung. Namun, ketika fenomena calon tunggal melawan kotak kosong mengalami peningkatan dan ternyata pemilih kotak kosong pun tidak sedikit jumlahnya, sepertinya perlu kita merefleksikan kembali soal bagaimana kata "demokrasi" ini dimaknai

Dari uraian pembahasan maka dapat disimpulkan kemenangan kotak kosong yang mengharuskan pilkada ulang dapat memicu instabilitas sosial dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi Kemenangan kotak kosong juga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Ketika pilkada ulang dipaksakan, beban biaya ditanggung oleh anggaran daerah, yang berasal dari APBD atau APBN. Ini berarti dana yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, serta program sosial, akan tersedot untuk pembiayaan ulang pemilihan.

Saran
Partai politik harus kembali mengevaluasi proses jalannya kaderisasi partai, dari ideologisasi bahkan sampai di tataran implementasi ideologi. 

Sehingga, yang terjadi bukan justru malah sebaliknya yakni serampangan menaruh calon pokoknya asal terkenal di publik, punya elektabilitas tinggi dan tentu yang tunduk pada elit partai.

Penting bagi masyarakat untuk lebih memahami konsekuensi dari pilihan mereka, terutama dalam konteks ekonomi daerah yang terbatas. Pemerintah juga harus mengevaluasi apakah kebijakan pilkada ulang ini benar-benar membawa manfaat demokrasi yang sepadan dengan biaya yang dikeluarkan.

Penulis: Kristian Wulandari,Prodi Ilmu Administrasi Negara ,Ketua BEM Institut Pahlawan 12
(Eqi)

TerPopuler