KLATEN-faktaliputan.com
Minggu pagi ( 24/11/2024 ) di Pasar Desa Delanggu sudah mulai terlihat aktivitas para penjual dagangan sedari esok tadi, pukul 03.00 wib menjelang subuh biasanya para pedagang sudah mulai beraktivitas mempersiapkan dagangan di pasar ini, Retno Fajarwati adalah seorang ibu dengan 3 anak yang masih kecil, ( 24/11/2024 ) terlihat mondar mandir di pasar mencari dagangan untuk di jual kembali di angkringan miliknya pada sore nanti, sedari pagi dia sudah berbelanja bahan buat gorengan dan masak sayur bagi para penggemar kuliner sore, di angkringan Brewdhar, tempat saya biasa wedangan, kalau malam, angkringan sederhana tersebut dikelola bersama putranya yang paling besar, nyari apa bu ? sapa saya dan di jawab " Nyari telur sama tepung mas penjual yang biasanya libur jadi muter muter ini nyari yang harganya murah " sahutnya, kemudian sembari bercerita terkait harga harga yang makin naik beberapa hari ini menjelang Pilkada.
Kemudian lanjut kita wawancara seorang nenek penjual buah buahan, di atas trotoar pintu masuk pasar, Mak Iyah ( 24/11/2024 ) " Walah mas sepi sekali hari ini, mana sudah mulai musim hujan kadang jualan baru sebentar buka udah gerimis jadi capek bongkar pasang dagangan mas, tapi ya bagaimana lagi, kita cuma numpang jualan di trotoar, kerena lebih ramai daripada di dalam kios pasar mas, tapi ya resikonya kalau hujan kayak gini " paparnya, ketika ditanyakan terkait hasil jualan hari ini.
Beralih ke Bu Sri penjual sayur mayur di dalam Pasar Delanggu, bagaimana buk jualan hari ini ? " agak sepi mas, beberapa bahan juga naik, tapi untuk sayuran masih belum, sudah gitu cuacanya juga udah masuk musim penghujan, jadi pelanggan pada males keluar, ya kalau terkait dengan Pilkada, saya ga begitu paham politik mas, setahu saya orang orang pada lebih sering belanja sayur di mini market noh daripada di pasar, meskipun disini lebih murah " ungkapnya
Dari beberapa kisah tersebut kita bisa melihat betapa perjuangan sosok perempuan yang mencari nafkah dengan begitu kerasnya, merekalah para pejuang pejuang perekonomian keluarga yang tidak menyerah begitu saja dari hasil suaminya, karena mungkin belum cukup untuk menghidupi keluarga sehari hari, namun perjuangan mereka di pasar tidaklah mudah, dan justru kerapkali menjadi korban sasaran kekerasan verbal, ambil contoh misal keberadaan janda di suatu daerah, seringkali jadi bahan candaan dan terkadang tanpa sengaja dari proses bercanda yang terjadi seolah malah juatru mengolok olok mereka dan cenderung terjebak ke arah narasi seksis dan misoginis.
Sebut saja Bunga salah seorang perempuan pedagang minuman dan jajanan di Pasar Desa Delanggu ( yang kita samarkan namanya ) bercerita pada wartawan ( 24/11/2024 ) bahwa dia kerapkali menjadi sasaran kekerasan verbal baik oleh para pembeli maupun pelanggannya, misal nih mas pas mau ke toilet atau ataupun lewat beberapa kerumunan orang yang ditemui saat dia melintas di jalan, maupun kemana gitu pasti ada saja yang menggoda dan tak jarang mendatangi kiosnya bukan untuk berbelanja tapi hanya sebatas menebar rayuan gombal, akhirnya kan para pembeli yang lain jadi pada risih mas, dan saya juga tidak bisa melarang karena takut kan, saya hanya seorang perempuan dengan anak saya masih kecil dan tidak lagi bersuami sebab suami sudah meninggal beberapa tahun lalu apalah dayanya mas, paparnya.
Dalam portal Komnas Perempuan telah dijelaskan selain tanggal 29 November, ada juga kegiatan lain yang berkaitan dengan perempuan dan HAM, yaitu Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ( HAKTP ), kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang bertepatan dengan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan sampai tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) Internasional, di Indonesia biasanya dari Komnas Perempuan yang menjadi inisiator dalam kegiatan tersebut, namun memang belum banyak yang tau terkait makna hari tersebut berikut kegiatan yang digelar, khususnya ibu ibu di Pasar Tradisional,
Lebih lanjut bila kita mengamati sejarah Pasar di Indonesia sendiri, konon pasar tradisional kita itu telah ada sejak zaman Kerajaan Kutai Kertanegara pada abad ke 5 Masehi, dalam Indonesian Heritage, Ancient History ( 1996 ), dituliskan bahwa catatan pertama mengenai eksistensi pasar tradisional ditemukan pada abad ke-10, catatan yang dimaksud adalah prasasti masa kerajaan Mpu Sindok yang menyebut pasar tradisional dengan istilah Pkan, kalau di Jawa Tengah istilah itu menjadi Peken yang berarti pasar.
Dalam awal keberadaannya Pasar Tradisional memiliki peranan yang penting dalam perkembangan wilayah dan terbentuknya kota, sebagai pusat aktivitas ekonomi masyarakat, pasar tradisional telah mendorong tumbuhnya permukiman-permukiman dan aktivitas sosial-ekonomi lainnya di sekitar pasar tersebut, hingga pada tahap selanjutnya berkembang menjadi pusat pemerintahan.
Pasar Tradisional yang berawal dari sistem barter barang sehari-hari dan dilakukan masyarakat setempat dengan para pelaut Tiongkok, sejak saat itu juga, pasar tradisional menjadi tonggak dalam memajukan dan menggerakkan ekonomi kerakyatan serta menjadi miniatur kehidupan sosial, budaya, bahkan politik suatu masyarakat, dalam perkembangan pasar tradisional, sementara perempuan memiliki peran yang signifikan,
karena konstruksi gender yang melekat pada perempuan melatarbelakangi lahirnya berbagai peran penting tersebut, baik sebagai pembeli, penjual, maupun sebagai produsen yang memasok barang ke pasar.
Stamford Raffles dengan apik mendokumentasikan dalam karyanya yang terkenal berjudul History of Java bahwa dalam budaya Jawa hanya perempuan yang pergi dan melakukan aktivitas di pasar, menurutnya, laki-laki memiliki kapasitas yang lemah dalam pengelolaan keuangan sehingga perempuan yang mengambil alih peran mengatur belanja rumah tangga.
Selain itu, Anthony Reid juga menuliskan peran perempuan di pasar tradisional dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga Th 1450 - 1680 dengan mengutip seorang Panglima Armada Portugis yang singgah di Maluku pada masa awal kolonialisme di Indonesia bahwa perempuan dalam perniagaan bertindak sebagai penjual dan pembeli serta mengembangkan budaya tawar menawar.
Peran tersebut, hingga saat ini, praktis tidak bergeser, bahkan perempuan memegang kendali terhadap keberlangsungan pasar tradisional, mulai dari penentuan harga, jenis barang yang dijual, hingga pada ke mana barang tersebut akan didistribusikan, serta aktivitas lainnya, yang secara kuantitas, meski tidak ada angka yang pasti, perempuan merupakan mayoritas dan menempati seluruh lapisan struktur di pasar tradisional, dari yang terendah hingga tertinggi, termasuk perempuan produsen yang menggunakan pasar tradisional untuk memasarkan hasil produksinya, berbeda dengan laki-laki yang secara kuantitas tidak banyak dan lebih berperan sebagai buruh penyedia jasa di pasar tradisional, oleh karena itu, menjamurnya pasar modern menjadi ancaman tersendiri, baik bagi perempuan maupun bagi ekonomi kerakyatan secara umum.
Kehadiran Pasar Modern yang identik dengan minimnya interaksi juga dapat mencerabut masyarakat dari tradisi budayanya, digantikan dengan gaya hidup individualistis yang tidak sesuai dengan corak masyarakat, di mana budaya tutur atau budaya penyampaian pesan dari mulut ke mulut melalui proses interaksi yang telah lama digunakan untuk menjaga tradisi dan pengetahuan lokal yang ada, lagi-lagi peran perempuan tidak bisa dipandang remeh dalam proses tersebut, karena dengan adanya sistem barcode di pasar modern segala sesuatu seolah dibuat instan, praktis dan menjadi produk jadi, sehingga bukan tidak mungkin jika kehadiran pasar modern juga akan berkontribusi pada hilangnya tradisi dan pengetahuan yang telah berkembang lama, termasuk tradisi dialektika yang berangkat dari pengalaman dan pengetahuan perempuan.
Situasi Pasar Modern di tengah era globalisasi dimana masyarakat dibuat candu dengan cara hidup praktis, tentu lebih mendapatkan tempat sehingga pembangunannya juga lebih diprioritaskan, argumentasi tersebut dapat dibuktikan dengan data yang menyebutkan bahwa pertumbuhan pasar modern jauh lebih tinggi hingga mencapai 31,4 persen dibandingkan dengan pasar tradisional yang bahkan kurang dari 0 persen, yakni -8,1persen ( Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia, 2011 ).
Mengutip sumber kompas tentang jejak transformasi pasar tradisional, memang bisa dikatakan ada peningkatan, seiring perkembangan peradaban dan bertambahnya jumlah penduduk, pasar kian bertambah dan bervariasi, berdasarkan data Profil Pasar 2020 yang disusun oleh Badan Pusat Statistik ( BPS ), pada 2020 terdapat 16.235 pasar tradisional di Indonesia, jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2019 dengan 15.657 pasar, dari sisi wilayah, jumlah pasar tradisional paling banyak terdapat di Jawa Timur (2.345 pasar), diikuti Jawa Tengah (1.977 pasar), Sumatera Utara ( 858 pasar ), dan Sumatera Selatan ( 845 pasar ).
Sementara dalam kurun waktu 2007 - 2011, 3.800 pasar tradisional yang tersebar di berbagai wilayah lenyap di alih fungsi menjadi pasar modern yang dimonopoli oleh perusahaan retail raksasa maupun infrastruktur lain yang juga melibatkan perusahaan, belum lagi pasar tradisional juga mulai ditinggalkan karena masifnya kehadiran mini market yang lebih dekat dengan konsumen dan tersebar hampir di setiap Wilayah, melihat fakta masifnya pembangunan pasar modern, angka tersebut masih sangat mungkin bertambah lebih besar di tahun 2024.
Perebutan ruang antara pasar tradisional dan pasar modern menjadi hal yang tidak dapat dihindari, Pemerintah bukan tidak menyadari fungsi pasar tradisional sebagai penggerak ekonomi kerakyatan di mana puluhan juta orang, termasuk perempuan, menggantungkan hidupnya di sana, namun sebagai pemegang otoritas politik, pemerintah kerap tidak menunjukan keberpihakannya.
Akhirnya, perempuan sebagai pelaku utama di pasar tradisional juga menjadi entitas yang paling rentan menjadi korban pemiskinan akibat kehilangan ruang yang menjadi sumber kehidupannya, belum lagi ditambah lapisan beban lain yang di emban perempuan akibat konstruksi sosial yang langgeng.
Untuk mengentaskan permasalahan tersebut, diperlukan langkah afirmatif yang serius dari Pemerintah, pembatasan pembangunan pasar pasar modern harus segera dimulai, selain itu, pemerintah juga perlu melakukan penataan pasar tradisional agar dapat kembali diminati konsumen, tentu upaya tersebut harus dilakukan dengan melibatkan secara aktif seluruh pelaku dalam pasar tradisional, termasuk perempuan.
25 November adalah hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap perempuan, sekaligus awal dimulainya pergerakan hingga nanti sampai pada 10 Desember, ini menjadi momen penting untuk mengapresiasi peranan perempuan dalam kehidupan sehari-hari, tak terkecuali dalam sektor ekonomi di pasar, karena dominasi perempuan sangat terasa, mereka berperan penting dalam keberlangsungan pasar dan pembangunan daerah, memanfaatkan kesempatan usaha di tengah situasi yang sulit, banyak perempuan di pedesaan dan perkotaan memilih menjadi pedagang, terlebih dengan akses informasi yang semakin mudah, mereka menjadi lebih percaya diri dan mampu memasarkan produk mereka baik secara online, maupun tradisional konvensional, dalam berbisnis, perempuan memiliki keunggulan tersendiri, mereka cenderung lebih teliti dalam mengatur keuangan serta mampu merencanakan pengeluaran keluarga, kekuatan inilah yang membuat mereka mampu membangun pasar berkelanjutan serta memajukan daerah.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada berbagai kendala yang dihadapi oleh perempuan dalam menjalankan bisnis di pasar, kendala utama adalah akses terhadap modal dan pendidikan tentang manajemen bisnis, namun, dengan semangat yang tinggi, mereka tetap berusaha dan tidak patah semangat, sebagai negara yang memiliki banyak sektor pasar, sudah seharusnya kita mengapresiasi perjuangan dan kegigihan perempuan dalam mengembangkan pasar di daerah masing-masing, mari kita dukung perempuan sebagai pelaku bisnis dan penggerak pembangunan daerah, mari kita rayakan Hari tersebut dengan memberikan apresiasi kepada perempuan perempuan yang telah berjuang baik di segala sektor kehidupan juga dalam pasar dan membangun daerah, teruslah berkarya dan menuju ke arah yang lebih baik untuk masa depan yang lebih cerah.
Adalah tugas bersama untuk juga ikut membantu perjuangan para perempuan dalam merebut ruang dan mempertahankan budaya dialektika dan tawar menawar, yang kini di geser dengan sistem barcode di swalayan swalayan maupun pasar modern, agar tak hilang di telan perkembangan tekhnologi dan pasar.
( Pitut Saputra )