Mahkamah Agung Tidak Sadar Fungsi

Nature



Mahkamah Agung Tidak Sadar Fungsi

Sabtu, 15 Juni 2024, Juni 15, 2024
Faktaliputan-DKI Jakarta
15-06-2024
 
 
Beberapa bulan menjelang pemilu, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi atau Mk, terkait batasan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Karena amar putusan MK dinilai tidak sejalan dengan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Di sisi lain ketua MK merupakan paman dari salah satu paslon yang mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden, atas amar putusan tersebut, masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan, kususnya yang menekuni ilmu hukum bereaksi keras, hingga memicu pro kontra dan membuat masarakat gaduh yang diutarakan diberbagai media sosial.

Puncak dari kegaduhan tersebut, maka  dibentuklah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK sebagai upaya hukum untuk memperjelas, apakah proses dan amar putusan tersebut sudah memenuhi prosedur kehormatan hukum MK dalam menyelenggarakan dan  mengawal tegaknya hukum di Indonesia secara terhormat.
Kemudian Majlis Kehormatan Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Mahkamah Konstitusi telah melakukan pelanggaran etis berat, dan menerima sangsi, meski sangsi tersebut belum bisa diterima oleh sebagian masarakat sebagai sangsi yang adil.

Namun demikian dari putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sangat jelas menyatakan, bahwa secara hukum, ada penegak hukum, yaitu ketua Mahkamah Konstitusi yang memahami hukum dan etika hukum, namun melanggar dan menerima sangsi dari pelanggaran etika berat atau tidak menghormati etika hukum.
Peristiwa ini menjadi sejarah dan berdampak   terhadap cara padang masarakat Indonesia terhadap hukum, dan memperparah stigma yang sudah tumbuh dimasarakat, bahwa hukum di Indonesa dan penegak hukum, dapat dengan mudah dimainkan, serta menjadi alat untuk memuluskan kepentingan elit, baik yang sudah, sedang dan akan berkuasa.

Belum kering kesedihan dunia hukum atas amar putusan MK, kini dunia hukum dikejutkan lagi oleh putusan Mahkamah Agung atau MA yang mengabulkan gugatan Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana untuk menambah tafsir soal syarat usia calon kepala daerah. Hal itu tertuang dalam Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang diputuskan oleh Majelis Hakim pada Rabu, 29 Mei 2024.
Dalam amar putusan tersebut, MA mengubah ketentuan dari yang sebelumnya calon gubernur dan wakil gubernur berusia berusia 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon menjadi setelah pelantikan calon.

Amar putusan ini juga dijadikan dasar MA untuk memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia atau KPU agar mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat Atas PKPU Nomor 3 Tahun 2017.
Ini jelas memicu tanya dibenak saya sebagai mahasiswa paska sarjana Hukum Universitas Marsekal Suryadarma, sekaligus aktifis hukum organisasi masarkat Wawasan Hukum Nusantara, apakah MA sudah sesuai fungsinya dalam membuat amar putusan tersebut. Sebab ini tak sejalan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Juncto atau jo Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Yang jelaskan batas kewenangan hak uji yang dimiliki MA hanya terbatas sepanjang mengenai peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya di bawah UU. Tidak meliputi hak uji UU terhadap UUD sebab hak uji jenis ini hanya diberikan kepada MK.

Dengan demikian amar putusan MA diatas bukan hanya melanggar etika, tetapi juga cacat hukum karena telah menyalahi fungsi yang seharusnya dilakukan oleh MK.

Penulis
Ade Wibowo
Kabag Pembeddayaan masyarakat
WawasN Hukum Nusantara


Faktaliputan-DKI Jakarta
Kabiro

TerPopuler