faktaliputan.com - Ada kesan perbedaan penanganan hukum yang dialami Edy Mulyadi dan Arteria Dahlan.
Sama-sama diduga melakukan ujaran kebencian bernada Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA), Arteria Dahlan yang juga politisi PDI Perjuangan tak kunjung diproses. Di sisi lain, Edy Mulyadi yang juga sebagai Koordinator Komunitas Masyarakat Anti Korupsi Tolak Pindah Ibukota Negara kini sudah jadi tersangka dan ditahan.
"Polisi terlihat begitu cepat merespon kasus Edy Mulyadi, sementara kasus Arteria Dahlan terkesan belum ditangani. Padahal, laporan masyarakat tentang kasus Arteria Dahlan lebih dahulu masuk ke polisi daripada kasus Edy Mulyadi," kata pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga kepada wartawan, Selasa (1/2).
Di lain pihak, kata Jamiluddin, respons masyarakat terhadap dua kasus itu relatif sama. Warga Jawa Barat bergelombang memprotes pernyataan Arteria Dahlan. Hal yang sama juga terlihat dari protes warga Kalimantan terhadap pernyataan Edy Mulyadi.
"Jadi, demi tegaknya hukum, sepatutnya kasus Arteria Dahlan juga segera diproses polisi. Dengan begitu, masyarakat tidak melihat adanya perlakukan hukum yang berbeda terhadap setiap warga negara," tegas mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta ini.
Ia mengamini, status Arteria sebagai anggota DPR RI menghambat proses hukum yang ada. Untuk memeriksa anggota DPR RI, kata dia, memang membutuhkan izin presiden.
"Kalau memang itu yang menjadi penyebabnya, idealnya polisi menyampaikannya ke masyarakat. Dengan begitu, masyarakat dapat memahami lambatnya penanganan proses hukum kasus Arteria Dahlan," katanya.
Masalahnya, masih kata Jamiluddin, sejauh ini aparat kepolisian masih belum terbuka apakah sudah mengajukan permohonan ke presiden atau tidak dalam memproses kasus Arteria Dahlan.
"Untuk itu, polisi perlu terbuka ke masyarakat agar tidak muncul penilaian liar yang merugikan lembaga kepolisian," tandasnya.[rmol]